KHILAFAH TIDAK COCOK UNTUK INDONESIA


      Talkshow Panorama Pagi dengan tema Khilafah vs Pancasila yang disiarkan Radio Semeru FM Jum’at (3/7) pagi cukup mendapat sambutan dari pendengar radio dan juga pemirsa tayangan live facebook Radio Semeru FM Lumajang. Meski beberapa di antaranya mengaku hanya menyimak lantaran beranggapan temanya terlalu berat. Hadir dalam talkshow ini Ketua DPRD Lumajang H. Anang Ahmad Syaifuddin, Wakil Ketua DPRD Lumajang dari Fraksi PDIP H. Bukasan dan Ketua GP Anshor Lumajang Fahrurrozi atau Gus Eros.
      Mengawali talkshow, presenter Semeru FM Hariyanto memberi kesempatan Gus Eros untuk memberikan pendapatnya tentang khilafah yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan karena dipaksakan oleh pihak tertentu untuk diterapkan di Indonesia. Diskusi tentang khilafah menurut Eros seperti halnya diskusi terkait dengan komunisme yang tidak akan pernah berujung. Seiring dengan perkembangan proses pemikiran manusia, beberapa konsep bernegara pasti dicari plus minusnya, sementara khilafah dan komunisme menurutnya sama-sama konsep bernegara yang terlalu banyak kekurangannya.

PRIORITAS NEGARA AMAN SEJAHTERA
      Konsep khilafat tidak bisa diterapkan pada situasi dan kondisi saat ini. Khilafah menjadi konsep yang utopis, yang tidak bisa diterapkan semudah itu karena ada banyak hal syarat-syarat yang tidak mungkin bisa diterapkan. Sambil mengutip pendapat tokoh pemikir Islam Habib Hasan Al Jufri, Eros menyebutkan bahwa khilafah telah berakhir 30 tahun pasca Rasulullah. Saat itu muncul khilafah tapi itu bukan konsep negara yang sebenarnya. “Mulai dari dinasti Muawiyah (Umayyah) sampai Abbasiyah kemudian Turki Usmani bahwa konsep itu bukan khilafah tapi adalah konsep negara berdasar bani atau keluarga, berdasakan ras,” ujarnya. “Itu tidak mencerminkan Islam sama sekali,” sambungnya.
      Gus Eros mereview sejarah zaman Turki Usmani, Bani Umayyah, Abbasiyah, Bani Saljuk, Bani Syafawi hingga berakhir tahun 1993 dan terakhir Sultan Hamid yang sangat tidak Islami. “ Istilahnya kata Gus Dur idiocracy artinya pemaksaan kebenaran oleh pihak-pihak penguasa,” ungkap Eros.
Ini berbeda sekali dengan zaman Nabi yang tidak ada pemaksaan, seperti halnya demokrasi sekarang, ada keragaman, ada penghormatan, seperti yang tercermin di Piagam Madinah yang berusaha diterjemahkan menjadi Piagam Jakarta.
      Eros kemudian menceriterakan beberapa kisah kerajaan Islam di Indonesia. Kerajaan Islam di Indonesia menurutnya justru tidak semua mencerminkan konsep Islam seutuhnya dengan berbagai peristiwa pemaksaan dan pembunuhan dan trik-trik keji tersebut.
      Khilafah seutuhnya sebenarnya menurutnya ada di dunia pesantren yang turun temurun, itupun sudah tidak idiocracy, tidak ada pemaksaan dari pengasuh dan tidak lagi merasa paling benar. Artinya di ponpes ada ruang terbuka untuk konsep khilafah.
      Terkait dengan maraknya berita tentang khilafah dan ideologi Pancasila saat ini, Eros menghimbau kepada masyarakat agar tidak mudah terpengaruh oleh pemberitaan-pemberitaan yang ada di dunia media sosial yang kadang tidak benar atau hoax.
      “Saat ini kita hidup pada zaman post trash, di mana kekeliruan yang ditulis terus menerus dan dihantamkan kepada masyarakat medsos, itu akan menjadi suatu kebenaran. Nah ini yang harus disikapi oleh pemerintah, oleh para tokoh masyarakat,” ujarnya.
      Jika ada berita hoax harus segera dijawab agar masyarakat tidak bingung, tidak menganggap Islam itu keras, Islam itu terlalu banyak perdebatan dan pergesekan. “Sebenarnya kami aman-aman saja,” ujarnya. Eros berharap agar masyarakat bisa melihat Islam melalui NU dan Muhammadiyah. Organisasi ini sebagai representasi Islam di Indonesia telah melalui proses ratusan tahun dialektikanya, dinamikanya, sampai pada fase Walisongo hingga saat ini.
      Terkait dengan banyaknya kelompok yang masih memaksakan konsep khilafah, itu menurutnya hanya karena keterbatasan kemampuan saja dan itu dinamika pemikiran seperti halnya dengan pemikiran pada komunisme. Yang paling penting sekarang ini menurutnya adalah konsep negara yang sesuai Alquran yang diterjemahkan oleh Piagam Madinah kemudian dipersempit lagi oleh Piagam Jakarta.
      Eros menyebutkan dalam Al Quran tidak tidak pernah menyebutkan konsep bernegara Islam khilafah seutuhnya. Eros kemudian membacakan Al Quran Surat St-tin, ‘wattini wazzaitun wa tuuri siinin wa hadhal – baladil amiin. “Baladil amin amin ini artinya negara yang aman tentram, bukan baladil khilafah,” tegasnya.
      Baladil amin adalah sesuai dengan lokasinya. Dicontohkan untuk baladil amin di Malaysia dengan konsep perdana Menteri, di Indonesia Pancasila, yang utama itu negara yang aman tentram sejahtera. Khilafah dan komunisme menurut Eros tidak akan pernah melahirkan sebuah kemaslahatan umat, akan tetapi konsep demokrasi punya ruang dan waktu yang lebih banyak untuk melahirkan kemaslahatan umat. “Kita itu ada dalam satu konsep bersatu dalam keberagaman, unity in diversity, baladil amin kita adalah Pancasila, selesai sudah,” pungkasnya.



PANCASILA MENGUATKAN NKRI
      H. Bukasan mengawali komentarnya sebagai nara sumber mengajak semua pihaj agar waspada pada situasi saat ini, terutama terhadap berbagai isu provokasi seperti soal khilafah. “Jika meilhat dari sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam sekitar 90%, maka kita seakan-akan bisa membenarkan bahwa khilafah bisa dilakukan di Indonesia. Tapi itu anggapan yang salah,” ujarnya.
      Konsep khilafah ini menurut Bukasan dulu diawali tahun 80-an masuk di Indonesia lewat organisasi Hizbut Tahrir Imdonesia (HTI). HTI sendiri dibubarkan tahun 2017 karena dianggap bertentangan dengan Pancasila, karena anti Pancasila. Memang secara resmi HTI bubar tapi seperti komunis yang bubar tapi bahaya latennya tetap perlu diwaspadai.
      “Kadang masih bergerak sampai sekarang dengan model yang lainnya, kelompok tertentu tetap melakukan upaya menyodorkan konsep khilafah karena dianggapnya konsep ini bisa diberlakukan karena sebagian besar Indonesia beragama Islam,” ujar Bukasan. Melalui tokoh-tokoh tertentu kelompok ini mengecam pemerintahan, mereka melakukan dengan cara menghujat tidak hanya pada tokoh masyarakat tapi sampai pada simbol negara.
      Konsep khilafah hanya bisa diterapkan di ponpes dan zamannya nabi, dengan situasi dan kondisi saat ini maka menurutnya ideologi Pancasila sudah tepat karena mampu menguatkan NKRI. Konsep pembentukan Pancasila sendiri berdasaran pada keanekaragaman kultur, sosial dan budaya sesuai dengan kebhinekaan yang ada termasuk ras dan agama. Ini pun dirancang oleh berbagai unsur tokoh seperti kyai dan tokoh nasionalis yang tentunya bisa mewakili keberagaman di Indonseia.
Pancasila mampu merangkul NKRI mampu merangkul keberagaman, Pancasila dibentuk berdasarkan kesamaan bangsa dan sejarah bukan kesamaan agama. “Ini yang menguatkan kita bahwa Pancasila sebagai ideologi negara tidak bisa dirubah,” ujar Bukasan.
      Bukasan menjelaskan bahwa jika ada keinginan membenahi tatanan pemerintahan seperti yang khilafah inginkan, tidak perlu merubah ideologi tapi cukup dengan memasukkan konsep-konsep tersebut dalam peraturan seperti di daerah bisa dimasukkan dalam peraturan daerah.
      “Yang perlu dirubah adalah pola pikir, sistem yang bisa menjawab kondisi saat ini. Tidak dengan merubah ideologi, Pancasila dan UUD sudah tidak bisa diotak-atik siapa pun karena akan bertentangan dengan masyarakat secara keseluruhan,” ujar Bukasan.


TIDAK TERUSIK PAHAM TRANSNASIONAL
      Sementara itu Ketua DPRD Lumajang H. Anang Ahmad Syaifuddin menjelaskan bahwa pemerintah melalui MPR sudah melakukan suatu program pembinaan. Ada empat pilar kebangsaan, yakni Undang-undang Dasar 1945, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI. “Dalam perjalanan kebangsaan kita, tidak pernah ada satu paham transnasional yang mampu merubah empat pilar kebangsaan tersebut,” ujar Anang.
      Yang jelas menurut Anang kemapanan suatu peradaban, keadaban yang sudah terbangun di Busantara ini tidak akan pernah bisa terusik oleh paham-paham transnasional. Khilafah gagal, komunisme juga gagal dan hari ini memang mereka tidak punya celah atau ruang untuk mengembangkan ideologi yang mereka pahami.
      Menurutnya khilafah sudah tidak cocok dengan peradaban Indonesia yang sudah dibangun sejak beratus-ratus tahun. Peradaban Nusantara yang sudah mencapai kemapanan, ujar Anang, tidak akan mempan disisipi ideologi apapun. “Apapun ideologi yang akan dikembangkan di Indonesia, pasti akab tawar dengan sendirinya,” tegasnya.
      Namun demikian yang perlu diwaspadai adalah dunia media sosial yang sangat mempengaruhi kehidupan kita saat ini. Orang yang suah belajar bertahun-tahun tentang ilmu logika, belajar bertahun-tahun tentang filsafat, sepertinya tawar ketika berhadapan dengan pemberitaan-pemberitaan yang kontinyu di media sosial.
      “Apapun termsuk kejahatan kalau disampaikan terus-menerus secara kontinyu itu seolah akan menjadi suatu kebenaran, akan terbangun mindset massive, pemikiran massif atau konsepsi berpikir sama,” ujar Anang sambil menegaskan bahwa hal tersebut perlu diwaspadai. Namun ia juga menegaskan jika di Lumajang tidak ada gerakan seperti itu. Jika ada itupun partisipan yang tidak terlalu mengancam.
      Soal Ideologi Pancasila, Anang mengaku sepakat dengan PBNU agar Pancasila tidak lagi diotak-atik lagi dan untuk RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) pembahasannya ditunda bahkan ujarnya mungkin tidak pernah dibahas lagi. “Karena kalau Pancasila diperas menjadi Trisila, lalu diperas lagi jangan jangan jadi asusila, ini jadi problem,” kelakarnya. (TEGUH EKAJA)

Posting Komentar

0 Komentar