PENAMBANG PASIR ILEGAL HARUS DIAKOMODIR AGAR POTENSI PAJAK LEBIH OPTIMAL


     Keberadaan penambang pasir ilegal yang jumlahnya banyak, yakni sekitar 80 penambang, memang sebaiknya ditutup karena bertentangan dengan hukum. Jika tidak ditutup, sekalian saja mereka diberi izin supaya tidak ada lagi penambang ilegal. Akan tetapi, seandainya pilihannya ditutup, mereka harus dirangkul atau diakomodir oleh penambang berizin agar mereka tetap bekerja. Dengan cara ini, diharapkan potensi pajak pasir lebih optimal masuk ke Pendapatan Asli Daerah (PAD) Lumajang.
Demikian pertautan pendapat tiga narasumber dialog interaktif (talkshow) di Radio Semeru FM, Senin (6/3) pagi. Tiga narasumber itu adalah Oktaviani, SH (Wakil Ketua DPRD dari Partai Gerindra), H. Akhmat, ST (Wakil Ketua DPRD dari PPP), dan Agus Setiawan, SE (pengusaha dan pengamat ekonomi). Topik yang diperbincangkan adalah Memaksimalkan Potensi Pasir Lumajang.
H. Ahmad, ST menjelaskan, kalau penambang ilegal setelah ditutup lantas diakomodir atau dirangkul oleh penambang legal, maka tidak akan terjadi kegaduhan karena mereka tetap bekerja.
Akhmat juga akan mendorong pemerintah agar menggandeng lembaga yang kompeten, untuk menghitung ulang potensi pasir secara keseluruan. “Saya yakin potensi pasir sangat besar, sehingga pengelolahanya harus optimal,” ungkapnya.
Selain itu pemerintah diminta menerjunkan petugas di semua mulut tambang, dengan dibekali kemampuan bekerja secara profesional. Dengan langkah ini ia yakin, pemerintah mampu menghasilkan PAD lebih dari sebelumnya.
     Akhmat juga berharap banyak kepada pemerintah, di tahun 2020 ini PAD Lumajang jangan sampai berkiblat pada perolehan di tahun 2019. "Jangan sampai perolehan pajaknya sama. Kalau berkiblat pada tahun sebelumnya, kinerja pemerintah perlu dipertanyakan,” tegasnya.
Hal senada juga diungkapkan Oktaviani, SH. Menurut dia, membahas soal pajak pasir, tidak terlepas dari penambang itu sendiri. Pemerintah daerah harus mempunyai ketegasan ekstra dalam mengambil tindakan. Regulasinya harus jelas, sehingga tindakan tegas bisa diberlakukan kepada penambang pasir yang illegal, “Saya berharap pemerintah memiliki ketegasan ekstra dalam menangani persoalan pasir, agar PAD dari sektor pasir ini tidak terus diambil penambang yang ilegal,” ungkapnya.
Politisi dari Partai Gerakan Indoinesia Raya (Gerindra) ini menambahkan, penarikan retribusi pajak pasir yang saat ini dilakukan oleh pemerintah daerah di wilayah perbatasan, dinilai tidak efektif, karena fasilitasnya tidak mendukung.
     “Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) belum melakukan pemungutan pajak tanpa fasilitas memadai. Lihat saja PT. Mutuiara Halim (MH) dulu, melakukan penarikan dengan fasilitas lengkap, dengan alat timbang. Ini mestinya juga harus dilakukan oleh BPRD,” imbuhnya.
Oktaviani berharap penambang ilegal bisa digandeng oleh penambang yang legal seperti yang diharapkan oleh H. Ahmat.
Sementara itu Agus Setiawan, pengamat ekonomi yang juga pengusaha, menuturkan bahwa potensi pajak pasir di Lumajang sungguh besar, jika pengelolaan pada sektor ini dilakukan secara profesional.
Ia mengutip data BPS, bahwa pasir dan bebatuan yang diangkut truk keluar kota Lumajang nilainya dalam satu tahun kurang lebih antara Rp 900 miliar hingga Rp 1,3 triliun. Kata Agus Setiawan, potensi perolehan pajak pasir paling tidak pada angka moderat minimal Rp 100 miliar per tahun.
Oleh karena itu, jika target pajak pasir hanya Rp 37 miliar, dan perolehan tahun lalu hanya Rp 11 miliar, tentu terlalu kecil. Penyebabnya, selain ada sebagian penambang berizin yang nakal enggan bayar pajak, petugas penarik pajak yang kurang profesional, banyaknya terjadi kebocoran, juga lantaran dibiarkan beroperasinya tambang ilegal.
Jika pajak pasir Lumajang ditangani dengan baik, mestinya masyarakat Lumajang lebih sejahtera. Apalagi, lanjut Agus Setiawan, bisnis pasir ini tidak hanya menghasilkan pajak saja, tetapi juga menghidupkan aktivitas ekonomi yang lain, seperti warung, trasportasi, bengkel truk, hotel, dan lainnya. Ribuan orang menggantungkan hidupnya dari pasir ini.
Agus Setiawan berharap, roses penarikan pajak oleh BPRD harus dilakukan sebaik mungkin, dengan melibatkan petugas yang mumpuni. Percayakan kepada pegawai berstatus PNS, jangan hanya menerjunkan para honorer. Selain itu proses penertiban tambang ilegal dan pemungutan pajak harus ada sinergitas antarsektor. Minimal BPRD ada juru sita yang dikuatkan dari pengadilan, kepolisian dan kejaksaan. “Sehingga pemerintah dibantu jajaran samping, bisa menyegel para penambang pasir illegal tersebut,” imbuhnya.
Agus Setiawan juga setuju dengan usulan dari H. Ahmad, ST terkait penempatan petugas di mulut tambang pasir, karena dengan langkah tersebut bisa mengurangi kecurangan pengusaha tambang untuk menghindar dari pajak pasir.
Dalam Talkshow yang dipandu oleh Hariyanto, S.Pd ini, cukup banyak respons dari para pendengar dan juga fans Radio Semeru FM yang disampaikan baik melalui telepon, WA maupun facebook. Seperti penelepon atas nama Hari dari Lumajang Kota, yang mempertanyakan mengapa pasir hanya dijual secara mentah saja, kenapa kok tidak dijual secara olahan. (YONI)

Posting Komentar

0 Komentar