DEWAN MENILAI, PEMISAHAN PEMILU NASIONAL DAN LOKAL BERPELUANG MENGHIDUPKAN KEMBALI DEMOKRASI LOKAL YANG SUBSTANTIVE

     Lumajang, Suara Semeru - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 135/PUU-XXII/2024 tertanggal 26 Juni 2025 mengalami perombakan yang memisahkan pelaksanaan pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah (Pilkada) dengan pemilihan pasangan Presiden-Wakil Presiden, anggota DPR dan anggota DPD yang mulai diberlakukan pada 2029 mendatang.

     Menurut Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Lumajang, Reza Hadi Kurniawan, S.IP., dengan adanya putusan MK tersebut, putusan ini berpeluang untuk menghidupkan kembali demokrasi lokal yang substantive, karena dengan pemilu terpisah, perhatian publik dan media tidak lagi tersedot kepada isu nasional.

     “Pemisahan pemilu nasional dan lokal dapat dipandang sebagai momentum reformasi atau risiko baru. Namun pelaksanaan pemilu lokal juga bisa lebih fokus membahas isu daerah, rekam jejak kandidat, dan kebutuhan masyarakat,” ungkapnya, ketika menjadi narasumber diprogram Dewan Mendengar, Radio Semeru FM, Senin 11 Agustus 2025. Tema yang diusung dalam dialog pagi itu adalah ‘Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal’.

     Menurut penjelasan MK, pemisahan tersebut akan lebih menyederhanakan rangkaian proses yang memudahkan para pemilih menentukan calon yang hendak dipilih dan mengurangi risiko kekeliruan perihal jadwal tahapan-tahapan pemilihan yang begitu padat yang pada akhirnya membebani partai politik dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai peserta dan penyelenggara pemilu nasional dan daerah.

     Dalam mekanisme pemilu serentak sebelumnya, setiap pemilih akan dihadapkan dengan 5 kotak suara dalam hari pencoblosan yang sama, sehingga dampaknya cenderung memberikan kebingungan bagi pemilih karena melalui mekanisme tersebut pemilih harus menentukan dari sekian banyak calon dalam satu waktu, yang dimana mereka tidak akan mampu berfokus pada visi misi dari setiap calon.

     “Jika kita mencermati secara kritis dinamika baru dalam penyelenggaraan demokrasi lokal pasca putusan tersebut, maka putusan MK 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan waktu pelaksanaan pemilu nasional dengan pilkada atau lokal, dianggap dapat membuka ruang untuk memperkuat demokrasi lokal yang lebih otonom dan berorientasi pada kepentingan masyarakat,” ucapnya.

     Menurut Reza, dengan adanya putusan tersebut perlu disoroti adanya tantangan baru dari sisi regulasi dan kesiapan teknis, terutama terkait potensi disharmonisasi antara jadwal nasional dan daerah, serta kebutuhan reformulasi desain pemilu yang lebih akuntabel dan partisipatif.

     Pemisahan pemilu nasional dan lokal, yang mulai berlaku pada tahun 2029 mendatang, dapat dipandang sebagai momentum reformasi atau risiko baru, tergantung pada bagaimana implementasinya, pemisahan waktu pemilu nasional dan daerah memungkinkan pemilih untuk lebih fokus pada kinerja pemerintah pusat dan daerah secara terpisah.

     “Pemisahan ini diharapkan mengurangi kelelahan pemilih dan meningkatkan fokus pada setiap pemilihan, sehingga potensi suara tidak sah menjadi lebih minim, dengan pemisahan waktu, diharapkan kebijakan pusat dan daerah dapat berjalan lebih efektif, pemisahan ini diharapkan dapat mengurangi konflik kepentingan antara pemilu nasional dan daerah, serta menjaga kesinambungan pemerintahan daerah,” tegasnya.

     Meskipun diakui, bahwa perubahan jadwal pemilu bisa bertentangan dengan prinsip konstitusi yang mengatur siklus pemilu lima tahunan, perubahan jadwal pemilu dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam tata kelola pemerintahan daerah, terutama terkait masa jabatan kepala daerah dan DPRD.

     Salah satu isu yang paling krusial dalam amar putusannya adalah menentukan jeda pelaksanaan jadwal pemilu daerah antara 2 hingga 2,5 tahun pasca pelantikan Presiden-Wakil Presiden, anggota DPR, dan anggota DPD yang dinilai menciderai prinsip negara hukum dan demokratis secara substantif, bahkan pembangkangan terhadap konstitusi.

     Ia menegaskan bahwa intervensi pusat dalam proses pemilihan kepala daerah nantinya sangat berpotensi terjadi, karena pilkada diselenggarakan 2,5 tahun setelah pemilu selesai, sehinga jarak waktu yang cukup panjang membuka ruang bagi pusat untuk membangun pengaruh politik di daerah melalui manuver kebijakan hingga penempatan pejabat sementara atau Pj. Kepala Daerah.

     Pada akhir dialog, Reza menegaskan bahwa pemisahan pemilu nasional dan lokal adalah isu kompleks yang memiliki potensi baik dan buruk, penting untuk mencermati implementasi pemisahan ini secara seksama, serta memastikan bahwa perubahan ini tidak menimbulkan masalah baru dalam sistem demokrasi dan tata kelola pemerintahan.

     Sehingga pemerintah dan Dewan perlu segera menyusun skema transisi yang jelas dan memastikan bahwa pemilu tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi dan memberikan manfaat bagi masyarakat, melalui sistem pemilihan ini, partai politik juga dituntut untuk mampu mempersiapkan calonnya dengan lebih serius, karena masa tunggu yang semula adalah 5 tahun, kini dipersingkat dengan jeda 2-2,6 tahun antara pemilu nasional dan pemilu daerah.

     “Sehingga dengan semangat partisipatif dan penguatan tata kelola demokrasi yang transparan, pemisahan pemilu ini bukan sekadar agenda teknis, tetapi momentum untuk merancang ulang ekosistem demokrasi lokal yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat,” pungkasnya. (Yoni Kristiono)

 

Editor : Roni


Posting Komentar

0 Komentar