Begitu Omnibus Law atau Rancangan Undang-undang Cipta Kerja oleh DPR disahkan menjadi Undang-undang, Senin (5/10), beragam respons bermunculan. Reaksi massal pun berkembang, mulai dari aksi mosi tidak percaya terhadap DPR hingga aksi demo yang mengakibatkan kerusakan fasilitas umum di beberapa daerah.
Masalah Omnibus Law ini menarik perhatian masyarakat umum sehingga banyak yang ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi. Terkait dengan hal ini Agus Setiawan, pengamat ekonomi asal Lumajang yang juga merupakan seorang pengusaha sukses, tertarik untuk turut memberikan pencerahan agar masyarakat awan memahami duduk persoalannya.
Saat menjadi narasumber dalam acara talkshow di Radio Semeru FM dalam program Ngopi Pagi yang dipandu Hariyanto, S.Pd., Sabtu (10/10), ia mengungkapkan bahwa Undang-undang ini sebenarnya tidak sepenuhnya merugikan kaum buruh. Banyak pasal yang menguntungkan dan melindungi buruh atau pekerja, namun juga ada pasal-pasal yang memang perlu dikritisi, sehingga menurutnya Undang-undang ini tidak perlu ditolak seluruhnya namun perlu dilakukan judicial review.
LATAR BELAKANG OMNIBUS LAW
Setiawan kemudian memaparkan awal mula yang melatarbelakangi Omnibus Law ini segera diundangkan di Indonesia. Setiawan mengungkapkan bahwa peringkat daya saing Indonesia kalah jauh jika dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Vietnam bahkan Filipina.
Ini harus dicari salah satu penyebabnya, apa saja selama ini yang dikeluhkan baik oleh pengusaha maupun pekerja. Selain gejolak di tingkat pekerja, yang juga perlu diperhatikan selama ini pengusaha dan ekonom mengeluhkan masalah tumpang tindihnya perizinan, peraturan perundang-undangan, dan ketidakpastian hukum.
“Kalau masih seperti sekarang jelimet, perizinan birokrasinya terlalu panjang, banyak pungli bagaimana investor mau masuk Indonesia. Sekarang semuanya berebut masuk ke Vietnam dan ke Filipina karena mereka sudah terlebih dahulu membuat Undang-undang Omnibus Law, sehingga mereka menarik bagi investor,” terangnya.
Pengusaha rata-rata mengeluhkan kewajiban untuk memberikan pesangon yang terlalu tinggi. Bahkan bila dibandingkan dengan negara lain, Indonesia itu jauh lebih tinggi, yakni 32 kali dari gaji. Sementara di negara lain rata-rata di bawah 30 kali, sehingga investor berfikir karena rata-rata investor harus punya exit strategy.
Kendala yang paling utama adalah adanya pungli yang muncul karena banyaknya peraturan yang tumpang tindih, panjangnya birokrasi perizinan, dan sebagainya. Inilah yang menurut Setiawan berupaya dipangkas oleh pemerintah.
“Kita memahami maksudnya pemerintah, motivasinya baik yaitu memangkas birokrasi, mempermudah perizinan dan ingin memberikan kepastian hukum dengan cara merubah banyak undang-undang,” ujar Setiawan.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa prestasi DPR dalam merubah maupun membentuk sebuah undang-undang dalam satu tahun rata-rata sekitar 10 undang-undang, sedangkan undang-undang yang harus diubah itu ada ratusan.
“Kalau memakai jalur normal mungkin hingga kita punya cucu tidak akan selesai merevisi undang-undang. Sekarang di dunia itu trennya Omnibus Law, di mana pemerintah itu mencoba merevisi banyak undang-undang dalam satu waktu yang sama,” terang Setiawan.
DISINFORMASI MENGUNDANG GEJOLAK
Setiawan juga mengkritisi pemerintah dan DPR yang menurutnya sosialisasinya kurang. Selain itu belum banyak pihak yang dimintai keterangan atau dimintakan pendapat sehingga sosialisasi tidak sampai ke masyarakat.
Diakui sejak Februari 2020 memang sudah mulai banyak selentingan atau mulai banyak meme-meme dan selebaran-selebaran di media sosial yang tidak sesuai dengan isi dari Undang-undang Omnibus Law tersebut.
“Sejak Februari Saya sudah mencatat, sudah mulai ada kekhawatiran di kalangan buruh maupun pekerja mengenai cuti, mengenai pesangon, mengenai PHK sepihak, kemudian mengenai kontrak seumur hidup. Itu sudah mulai terus didengungkan di sosial media seolah-olah memang seperti itulah Undang-undang Cipta Kerja nanti jadinya,” ungkapnya.
Belum lagi di kalangan pemerhati lingkungan hidup ada diskursus selentingan-selentingan yang mengatakan AMDAL ditiadakan. Info ini terus berkembang menjadi bola salju di masyarakat sehingga begitu disahkan langsung memunculkan gejolak.
Pengesahan Undang-undang ini juga dinilai misterius karena tidak banyak orang yang mengetahui draft akhir sebelum paripurna RUU Cipta Kerja tersebut. Sehingga ini mengundang kemarahan masyarakat ditambah disinformasi dan hoak yang berkembang yang menyulut kemarahan masyarakat.
Kemarahan masyarakat ini diwakili oleh mahasiswa dan pekerja. Mereka melakukan demonstrasi dan ini menurut Setiawan adalah hal yang wajar-wajar saja di alam demokrasi.
Baik pro maupun yang kontra punya hak yang sama untuk menunjukkan pendapatnya. Hanya saja yang disayangkan adalah sepertinya ada yang berusaha menunggangi, baik itu secara sengaja maupun tidak sengaja. Yang sengaja adalah pihak-pihak yang sengaja mengerahkan massa untuk membuat onar. Ada juga yang tidak sengaja yakni kalangan pelajar yang ikut-ikutan di usianya yang masih suka senang tawuran, inilah yang merusak.
“Kebetulan kantor saya di Jakarta tidak begitu jauh dari Semanggi dan Gedung DPR, sehingga bisa menyaksikan langsung dan rata-rata yang di barisan depan yang ngesruh itu anak-anak STM, SMA. Mereka ingin mendapatkan glorifikasi sebelum demo-demo sebelumnya,” ungkap Setaiwan.
Setiawan mencontohkan aksi demo soal RUU KUHP, di mana yang di depan adalah anak-anak STM yang mendapatkan glorifikasi seolah merekalah yang menjadi pahlawan. Ini yang kemudian mengundang anak-anak SMA dan STM lebih banyak lagi.
“Usia remaja ini yang sangat rawan, ketika ada kerusuhan mereka bukannya menghindar malah senang dan ini terjadi di semua daerah termasuk di Lumajang. Di Lumajang pun informasi tersebut berkembang di mana memang anak-anak usia tanggung, usia remaja yang didorong ke depan. Ini yang terjadi dan menyebabkan aspirasi yang murni dari mahasiswa dan buruh dan pekerja menjadi kotor ini sangat kita sayangkan,” ungkapnya.
Seandainya tidak terjadi kerusuhan mungkin aksi demo ini akan bisa terus terjadi dan ini bisa memberikan pukulan bagi pemerintah sesuai dengan tujuan demo tersebut.
JUDICIAL REVIEW LANGKAH STRATEGIS
Mengenai Undang-undang itu sendiri karena sudah disahkan oleh DPR, maka menurut Setiawan dalam tempo 7 hari difinalisasi dan diajukan ke Presiden. Selanjutnua dalam waktu 30 hari diundangkan setelah ditandatangani Presiden. Diundangkan di lembaran negara dan diberi nomor, maka sudah sah berlaku.
“Untuk pihak-pihak yang tidak setuju atau yang mungkin berseberangan dengan Undang-undang ini, maka setelah Undang-undang tersebut diundangkan bisa mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, seperti yang dilakukan oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU),” terang Setiawan.
Ini menurut Setiawan adalah langkah yang sangat strategis karena Undang Undang Cipta Kerja tidak semuanya buruk, mungkin hanya ada beberapa pasal yang dipermasalahkan oleh aktivis maupun oleh para pekerja dan para buruh atau serikat buruh.
“Content Undang-undang yang bermasalah tersebut silahkan diuji di Mahkamah Konstitusi, jangan Undang-undangnya yang dibatalkan karena banyak sekali isi dari Undang-undang tersebut yang justru menguntungkan masyarakat kecil. Saya beri contoh seperti Undang Undang Ketenagakerjaan tahun 2003 tidak mewajibkan pengusaha memberikan kompensasi bagi pekerja kontrak atau TKWT yang selesai masa kerjanya. Nah di Undang-undang yang baru ini, sekarang diwajibkan memberikan kompensasi kepada pekerja kontrak maupun pekerja TKWT yang habis masa kerjanya. Ini kan baik,” jelentreh Setiawan
“Untuk konten-konten atau isi atau pasal-pasal yang dirasa bermasalah silahkan diuji di Mahkamah, ini lebih dewasa dan lebih sesuai dengan konstitusi,” sambungnya.
AKSI DEMO, MAHASISWA TIDAK MATI SURI
“Kita tidak menyalahkan mahasiswa dengan aksi demo kemarin, itu pantas dilakukan dan harus dilakukan. Tapi kalau seusia kita ini salurannya sudah bukan di jalan. Kita memberikan kritik melalui saluran lain, misalnya melalui asosiasi-asosiasi, juga memberikan kritik DPR. Seperti saya seorang konsultan bisnis, kami melalui asosiasi yang kami ikuti secara resmi sudah memberikan surat keberatan dan lain-lain kepada DPR,” ujar Setiawan.
Setiawan menegaskan bahwa masing-masing telah memiliki tujuan yang sama namun dengan cara yang berbeda. Mahasiswa melakukan aksi demo sementara pengusaha dan pekerja secara resmi memberikan keberatan-keberatan melalui asosiasi-asosiasi.
Sebagai ketua MPC Pemuda Pancasila Lumajang, Setiawan mengaku pihaknya juga sudah melakakukan aksi yang disalurkan melalui kelembagaan organisasi. Pemuda Pancasila di beberapa kabupaten yang memang ada kawasan industri juga bergerak untuk juga membela masyarakat.
PP Lumajang melakukan diskursus karena mengetahui bahwa banyak disinformasi yang menjadi alasan demo. “Kalau demo berdasarkan disformasi sepertinya kami tidak ikut. Nukannya kita tidak membela, kita juga berusaha menjelaskan ke masyarakat suatu persoalan yang sebenarnya,” ujar Setiawan.
Aksi demo yang terjadi kemarin menurut Setiawan merupakan dinamika, sebuah proses yang mau tidak mau tidak mau harus dilalui. Namun memang para mahasiswa dan buruh mungkin baru konsen masalah Omnibus Law, baru mendapatkan konten yang memang kalau dibaca itu merugikan para buruh.
Sehingga mereka mau tidak mau langsung bergerak, sementara mereka tidak sempat lagi membedah RUU tersebut di atas meja, diskusi dan menimbang ini baik atau tidak. Ada juga konten yang cukup mengherankan seperti dihapusnya AMDAL, ini tentunya membuat mereka semua keburu bergerak tidak sempat lagi melakukan diskusi, tidak sempat lagi menguji dalam diskusi diskusi ilmiah di kampus-kampus. Mereka merasa bahwa Undang-undang ini memang Undang-undang celaka.
“Tapi kita bersyukur dengan mereka bereaksi, artinya di kalangan mahasiswa itu masih ada sikap kritis. Saya justru bersyukur dengan adanya demo mahasiswa artinya mereka tidak mati suri, berarti mereka masih mau memberikan perhatian dan mereka masih berani untuk mengkritisi pemerintah dan DPR,” ujar Setiawan.
Setelah ini mereka harus kembali ke masing-masing kampus untuk melakukan diskusi-diskusi ilmiah, riset untuk membedah RUU Cipta Kerja tersebut. Dicari mana-l yang bermasalah kemudian mereka mungkin bisa menyatukan pendapat aliansi dan mereka bisa mengajukan judicial review.
“Untuk DPRD Lumajang yang kemarin juga menolak, seharusnya tidak langsung menolak saja karena saya yakin mereka juga belum melakukan diskusi. Mungkin akan melanjutkan aspirasi para mahasiswa kepada pemerintah pusat maupun DPR RI. Nah setelah ini mereka diharapkan kembali duduk bersama melakukan diskusi-diskusi ilmiah. Dicari tahu mana saja yang tidak sesuai dengan yang kemarin dituntut, mana saja yang ternyata memang bermasalah,” ungkapnya.
Menurut Setiawan, dari ribuan pasal undang-undang yang diubah tidak semuanya merugikan. “Ibarat membangun sebuah rumah besar kalau atap satu kamar bocor ya kita perbaiki atap tersebut, bukan dengan menghancurkan rumahnya, karena undang-undang ini seperti sebuah rumah besar tersebut,” terangnya.
Mungkin ujar Setiawan jika ada beberapa pasal yang dianggap bermasalah perlu diperbaiki pasal tersebut melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi, sehingga bisa ditemukan pasal tersebut sesuai dengan konstitusi atau tidak. Seharusnya itulah yang menurut Setiawan perlu diajukan seperti yang akan dilakukan oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
“Ini patut kita teladani, kemarin ketua umum PBNU Kyai Haji Said Aqil akan segera mengajukan judicial review, ini sangat bagus sekali dan patut kita apresiasi,” pungkasnya. (TEGUH EKAJA).
0 Komentar