AGUS SETIAWAN : PERLU PROGRAM APLIKATIF UNTUK TINGKATKAN IPM LUMAJANG


      Sebuah fakta yang perlu mendapat perhatian besar bagi Pemerintah Kabupaten Lumajang adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang masih rendah, yang sampai saat ini masih berada di urutan 36 dari 38 kabupaten kota di Jawa Timur.
      Fakta ini menjadi sorotan Agus Setiawan, pakar ekonomi yang menjadi narasumber tunggal dalam talkshow di program Ngopi Pagi Radio Semeru FM yang dipandu Hariyanto,S.Pd, Sabtu (25/7). Dalam talkshow yang disiarkan Radio Semeru FM dan Akun facebook Radio Semeru FM Lumajang ini, Setiawan memaparkan bagaimana strategi menaikkan IPM tersebut.

KEBANGGAAN SEMU
      Sebagai pembuka, presenter Hariyanto mengingatkan soal apa yang pernah disampaikan oleh Bupati Lumajang H. Thoriqul Haq atau Cak Thoriq bahwa fokus utama kebijakan RAPBD tahun 2020 salah satunya adalah upaya untuk meningkatkan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Namun apakah upaya tersebut mampu mendongkrak IPM di Lumajang, faktanya hingga kini IPM lumajang masih belum bergerak ke angka yang memuaskan.
        Terkait hal ini Setiawan, menganggap selama ini Pemerintah Lumajang telah membiarkan masyarakar merasakan sebuah kebanggaan semu, terlalu membanggakan diri, namun fakta berbicara beda. Lumajang menurutnya tidak mampu melihat apa yang terjadi di luar, terlalu enjoy di zona nyaman, sehingga tidak tahu perkembangan dan kenyataan sebenarnya.
      “Kita sering mendengar teman-teman di Lumajang ngomong orang Lumajang itu pinter-pinter, tapi kalau kita lihat dari Indeks Pembangunan Manusia, justru kota dan kabupaten lainlah yang lebih banyak orang pinternya, karena indeksnya mengatakan demikian,” ujar Setiawan.
      Setiawan menegaskan bahwa IPM itu salah satu indikator keberhasilan pemerintahan daerah, karena dengan IPM yang tinggi tentunya kesejahteraan masyarakat akan terangkat. Untuk menuju kepada kehidupan yang sejahtera, dibutuhkan sumber daya manusia yang unggul, yang mampu berbuat banyak hal, yang mampu bekerja dengan baik, literasinya baik dan menghasilkan produktivitas yang unggul. “Indeks Pembangunan Manusia itu sebenarnya untuk mengukur tingkat kemajuan suatu daerah,” tukasnya.

CERMATI TIGA INDIKATOR IPM
      Setiawan menyebutan, dunia telah menyepakati ada tiga indikator dalam mengukur IPM. Yang pertama tentu indeks angka harapan hidup atau "life expectancy". Ada juga indeks pendidikan. “Yang ini dihitung dari angka melek huruf pada literacy rate dan rata-rata lama sekolah, yaitu mean years of schooling,” ujarnya.
      Kemudian nomor tiga yang diukur adalah indeks daya beli, adjusted real per capita. Tiga hal inilah menurut Setiwan yang harus unggul kalau menginginkan IPM yang unggul. Hal ini harus diperbaiki terus menerus dengan usaha keras atau extra effort, dengan kerja keras bukan kerja yang ala kadarnya.
      “Bukan kerja yang seperti biasanya. Kalau kita hanya melakukan kerja yang biasa-biasa saja, akan tetap menjadi peringkat 3 besar dari bawah terus menerus,” tegasnya.
      Jika IPM Lumajang ingin menyalip kota yang lain, maka dibutuhkan kerja keras, butuh usaha bersama baik dari pemerintah, masyarakat maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau non goverment organization (NGO) yang bergerak di bidang pendidikan, terutama masalah literasi.
      Hal ini, ujar Setiawan, perlu disegerakan karena berdasarkan realitas IPM kita ini maka pemerintah tentu harus memiliki program yang langsung berpengaruh di lapangan atau aplikatif. “Contohnya program keluarga berencana, ini lama efeknya,” ujarnya.
      Setiawan juga mengingatkan agar ada upaya untuk menjaga kesehatan masyarakat supaya angka harapan hidup meningkat. Kemudian juga harus ada upaya peningkatan pendidikan secara merata, karena faktanya banyak sekali masyarakat Lumajang yang belum bisa membaca, juga angka rata-rata lama sekolah di Lumajang pada tahun 2018 hanya 6,21 tahun. “Rata-rata kalau dihitung dari hasil pengukuran IPM lama sekolah warga Lumajang hanya sampai 6,21 tahun. Artinya SMP kelas 1 sudah banyak yang berhenti sekolah,” ungkapnya.
      Setiawan yang mengaku sering berkecimpung di beberapa bidang yang langsung berhubungan dengan masyarakat dan melihat begitu banyaknya masyarakat yang berpendidikan rendah. “Contoh di bidang pertambangan, kebetulan saya punya usaha di bidang ini. Rata-rata pekerjanya banyak yang hanya lulus SD, bahkan banyak yang tidak lulus SD, banyak juga yang dropout kelas 1 SMP,” ujarnya.
      Fakta-fakta inilah yang menurutnya harus diperbaiki. Kalau hanya mengandalkan program-program yang tidak langsung aplikatif di lapangan, dipastikan IPM tidak akan segera membaik. “Banyak hal yang harus diperbaiki, mungkin jumlah instansi pendidikan harus diperbaiki kualitas sarana dan prasarana pendidikannya,” tuturnya.

MEMBANGUN BUDAYA SEKOLAH
      Jumlah sekolah di Lumajang menurut Setiawan sebenarnya sudah cukup banyak, bahkan untuk jumlah Perguruan Tinggi mulai merangkak naik dengan adanya kerjasama dengan perguruan tinggi luar daerah. Namun yang kurang dilakukan Pemerintah Daerah Lumajang adalah membangun kepedulian masyarakat akan pendidikan.
      Membangun budaya sekolah ini yang harus dilakukan terus-menerus, bagaimana upaya pemerintah dalam mengurangi jumlah masyarakat yang masih buta huruf. Harus ada program-program yang langsung bisa dilaksanakan atau aplikatif. Dalam jangka waktu tertentu, semua masyarakat harus keluar dari predikat buta huruf. “Mungkin dengan cara mendapat tambahan jam pendidikan, sehingga angka lama pendidikan bisa meningkat,” ujarnya.
      Setiawan kembali mengingatkan agar tidak bangga dengan mengatakan masyarakat Lumajang pinter-pinter, namun faktanya berbicara lain. “Miris ketika kita selalu mengatakan orang Lumajang itu pinter pinter, tapi faktanya IPM kita di Jawa Timur saja terendah nomor 3 dari bawah,” ujarnya.
      Dari data BPS disebutkan bahwa Lumajang satu tingkat di bawah Probolinggo, dan dua terendah di bawah Lumajang adalah Kabupaten Bangkalan dan Sampang. “Ini sangat memprihatinkan. Maka program kerja yang dilakukan oleh Pak Bupati dan Wakil Bupati haruslah program-program yang langsung bisa aplikatif. Kalau hanya teori-teori atau melakukan pekerjaan yang biasa-biasa saja, tidak akan membaik,” ungkapnya.
      Membangun budaya sekolah itu menurut Setiawan harus mengikutsertakan semua pihak, tidak hannya pemerintah. Di Lumajang harus mulai diperbanyak LSM atau organisasi masyarakat yang bergerak di sektor pendidikan, yang fokus membangun budaya sekolah, membangun budaya membaca, membangun budaya pendidikan.
      “Dengan demikian, kalau rekayasa ini sudah bisa dilakukan, maka masyarakat bisa mengetahui tentang pentingnya sekolah. Ini yang harus dibudayakan oleh masyarakat mulai dari tingkat RT, RW, Kepala Desa dan seluruh tokoh masyarakat,” ujarnya. Setiawan mengaku menyampaikan gagasannya sudah lama sejak sebelum kepemimpinan Bupati Thoriqul Haq.

HARUS DIPAKSA SEKOLAH
      Pemerintah Lumajang harus mewajibkan warganya sekolah minimal 11 tahun, dan itu harus dipaksa dengan kebijakan-kebijakan yang memang harus ekstrem dan memaksa masyarakat bisa sekolah. Anak-anak harus bersekolah di TK/RA 2 tahun, SD/MI 6 tahun, dan SMP/MTs 3 tahun, sehingga total minimal bersekolah 11 tahun. Syukur bila bisa minimal lulus hingga jenjang SMA/SMK/MA. Jika mereka tidak mau ke sekolah, maka harus ada upaya bagaimana caranya bisa homeschooling, atau juga dipaksa untuk ikut kelompok belajar (Kejar) Paket A (setara SD/MI), Paket B (setara SMP/MTs, dan bahkan Paket C (setara SMA/SMK/MA).
      “Mungkin juga dengan memaksa yang buta huruf untuk ikut pendidikan atau kelas-kelas Paket supaya mereka bisa membaca, bisa dikonversi waktu mereka belajar menjadi lama sekolah,” tuturnya.
      Pemerintah harus memiliki program supaya masyarakat mau sekolah. Di bidang pendidikan harus ada budaya baru, yakni budaya bersekolah dimulai dari masyarakat yang konsen di bidang pendidikan, dari pemerintahan level terendah dan seluruh komponen masyarakat harus bergerak bersama.
      “Dengan bergerak bersama kita harapkan IPM kita segera loncat. Kita tidak mengejar rating atau kita tidak mengejar ranking di Jawa Timur, tapi yang kita kejar adalah dengan meningkatnya indeks pembangunan manusia di Lumajang berarti kita bisa membangun masyarakat yang unggul sehingga produktivitasnya meningkat dan ujungnya adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat di Lumajang.” pungkasnya. (TEGUH EKAJA).

Posting Komentar

0 Komentar