Dunia pendidikan kita dewasa ini tengah mengarungi gelombang perubahan fundamental di bawah kepemimpinan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim. Akan tetapi, reformasi kemerdekaan pendidikan yang digulirkan Mas Nadiem itu tidak boleh mengorbankan nilai-nilai karakter bangsa.
Demikian pendapat H. Anang Akhmad Syaifuddin, S.Ag, Ketua DPRD Kabupaten Lumajang, yang dikemukakan dalam dialog interaktif (talkshow) Panorama Pagi di Radio Semeru FM, Jumat (3/4) pagi. Hadir pula sebagai narasumber H. Bukasan, S.Pd, M.M (Wakil Ketua DPRD) dan Drs. Agus Salim, M.Pd (Plt. Kepala Dinas Pendifikan Kabupaten Lumajang). Topik yang diperbincangkan adalah Corona dan Masa Depan Pendidikan Kita.
Anang mencermati, angin reformasi pendidikan yang dihembuskan Mendikbud Nadiem dengan jargon "Merdeka Belajar" itu terinpirasi dari teori pendidikan humanistik atau pendidikan yang membebaskan, yang ducetuskan Paulo Freire pada tahun 1970-an. Freire adalah tokoh pendidikan yang disegani di belahan dunia.
"Saya melihat Mas Nadien ini kebangkitan dari Paulo Freire, tokoh pendidikan dari Brasil. Pendidikan yang memerdekakan, pendidikan yang emansipatoris. Dan itu adalah jawaban terhadap tantangan zaman pendidikan hari ini," ujarnya.
"Oke zaman saat ini boleh disebut post kulturalisme, post moderisme, post industrialisme, dan seterusnya. Tetapi karakter kita, kemerdekaan kita untuk belajar, dan karakter kita sebagai bangsa Indonesia, karakter kita sebagai orang daerah, tidak boleh tergerus oleh apapun, termasuk oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence)," tandas Anang.
Anang menjelaskan, aplikasi sistem dalam jaringan (daring) dan beberapa inovasi teknologi adalah merupakan bagian dari kecerdasan buatan. Teknologi adalah buah dari kecerdasan manusia, sehingga jangan sampai kecerdasan buatan itu justru merubah karatrakter bangsa.
”Anak didik jangan dianggap hanya seperti gelas kosong, hanya dijejali teori, rumus dan langsung dicekokkan kepada peserta didik. Ini menindas kemerdekaan berpikir anak,” tegas Anang yang juga Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kabupaten Lumajang itu.
Demikian pendapat H. Anang Akhmad Syaifuddin, S.Ag, Ketua DPRD Kabupaten Lumajang, yang dikemukakan dalam dialog interaktif (talkshow) Panorama Pagi di Radio Semeru FM, Jumat (3/4) pagi. Hadir pula sebagai narasumber H. Bukasan, S.Pd, M.M (Wakil Ketua DPRD) dan Drs. Agus Salim, M.Pd (Plt. Kepala Dinas Pendifikan Kabupaten Lumajang). Topik yang diperbincangkan adalah Corona dan Masa Depan Pendidikan Kita.
Anang mencermati, angin reformasi pendidikan yang dihembuskan Mendikbud Nadiem dengan jargon "Merdeka Belajar" itu terinpirasi dari teori pendidikan humanistik atau pendidikan yang membebaskan, yang ducetuskan Paulo Freire pada tahun 1970-an. Freire adalah tokoh pendidikan yang disegani di belahan dunia.
"Saya melihat Mas Nadien ini kebangkitan dari Paulo Freire, tokoh pendidikan dari Brasil. Pendidikan yang memerdekakan, pendidikan yang emansipatoris. Dan itu adalah jawaban terhadap tantangan zaman pendidikan hari ini," ujarnya.
"Oke zaman saat ini boleh disebut post kulturalisme, post moderisme, post industrialisme, dan seterusnya. Tetapi karakter kita, kemerdekaan kita untuk belajar, dan karakter kita sebagai bangsa Indonesia, karakter kita sebagai orang daerah, tidak boleh tergerus oleh apapun, termasuk oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence)," tandas Anang.
Anang menjelaskan, aplikasi sistem dalam jaringan (daring) dan beberapa inovasi teknologi adalah merupakan bagian dari kecerdasan buatan. Teknologi adalah buah dari kecerdasan manusia, sehingga jangan sampai kecerdasan buatan itu justru merubah karatrakter bangsa.
”Anak didik jangan dianggap hanya seperti gelas kosong, hanya dijejali teori, rumus dan langsung dicekokkan kepada peserta didik. Ini menindas kemerdekaan berpikir anak,” tegas Anang yang juga Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kabupaten Lumajang itu.
Tiga Komponen Pendidikan
Menurut Anang, sapaan akrabnya, keluarga, lingkungan dan lembaga pendidikan sangat berpengaruh kepada pendidikan seorang anak. Tiga komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mendukung dalam pembentukan karakter anak.
Anang mencontohkan betapa berpengaruhnya lingkungan dan keluarga terhadap pemahaman istilah yang sepele. Diceritakannya ada seorang guru TK yang memberi tugas kepada muridnya untuk menggambar ikan. Murid tersebut berupaya menggambar ikan yang dikenalnya di rumah. Uniknya ada salah satu murid yang menggambar bentuk kotak. Setelah ditanya anak tersebut menjawab bahwa itu ikan TAHU.
“Di Lumajang ini banyak suku Pandalungan (akulturasi suku Jawa dan Padura) yang menyebut semua lauk pauk itu dengan sebutan ikan, jukok tempe, jukok ajem, jukok tahu,” ujarnya sambil tertawa.
Lebih lanjut Anang mengingatkan kepada para pendidik tentang keinginan Menteri Pendidikan soal perubahan pola pendidikan. Pola pendidkan emansipatoris adalah memerdekakakan, membebaskan pola pikir peserta didik. Karena itu pendidikan secara filosofi harus melakukan penyadaran.
“Ibarat sebuah pergerakan, guru adalah pemimpin pergerakan dan murid bagian dari pergerakan itu. Yang lebih penting suasana dialogis harus tercipta. Dengan dialog terbuka bisa terbangun nalar kritis pada peserta didik,” ujarnya.
Anang mengajak semua komponen turut serta dalam pembangunan pendidikan di Lumajang. Bersama-sama mengawal pendidikan yang berkarakter agar tidak tergeser oleh kemajuan teknologi. Ini menurutnya perlu rekonstruksi, revitalisasi dan reformasi dalam dunia pendidikan.
“Problem serius adalah guru yang hanya cukup mengajar untuk menggugurkan kewajiban. Guru yang tidak peduli dengan pencerahan dan minat belajar anak. Akibatnya banyak sekolah yang tidak punya murid karena tidak diminati,” ungkapnya.
Ia menambahkan, pendidikan tidak hanya tugas Dinas Pendidikan. Semua harus ikut bertanggung jawab. Masa depan bangsa tergantung kepada anak cucu kita saat ini. Masa depan anak-anak tergantung dengan pendidikan yang diperolehnya saat ini. ”Tomorrow is today. Apa yang terjadi besok tergantung dengan apa yang kita lakukan saat ini,” pungkasnya.
Pendapat senada juga dikemukakan Bukasan, Wakil Ketua DPRD Lumajang dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan. Ia mengingatkan agar pembalajaran daring tidak justru membebani pelajar dan orang tua. “Jangan buat banyak pekerjaan rumah (PR) biar anak tidak klenger. Ini justru tidak baik untuk pendidikan emosional dan mental anak,” ujar Bukasan.
Kondisi darurat corona ini, lanjut Bukasan, harusnya dijadikan kesempatan bagi orang tua untuk menjalin komuniksi dengan anaknya. Dengan daring orang tua bisa mendampingi anaknya, dan jangan sampai jenuh dan penyakit pasrahnya kambuh.
Menurut Bukasan sudah menjadi kebiasaan orang tua pasrah kepada pihak sekolah, sehingga orang tua tidak tahu perkembangan mental emosional anaknya. “Anak disekolahkan mulai pagi hingga sore dan dilanjut dengan les. Ini harus ada pendampingan. Orang tua tidak boleh lepas pasrah begitu saja,” ujarnya.
Lebih lanjut Bukasan mengatakan bahwa kecerdasan emosional anak sangat penting dalam membangun masa depan anak itu sendiri. Dia mengungkapkan sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa mereka yang sukses di kemudian hari bukanlah yang memiliki nilai akademis yang bagus, tetapi kecerdasan emosionallah yang mendominasi.
"Contonya Pak Ketua DPRD ini. Sekolahnya pindah pindah tetapi interpersonalnya bagus, mampu membangun komuniksi, sehingga menjadi dewan dan langsung jadi Ketua DPRD,” selorohnya yang disambut senyum simpul Anang.
Bukasan menekankan agar guru dan orang tua agar tidak memaksakan anak bisa pinter pada bidang pembelajaran tanpa memperdulikan kecerdasan emosional. "Orang tua dan guru harus bisa membuka dan menyuport kecerdasan unik yang dimiliki anak itu sendiri", katanya. ( TEGUH EKAJA).
Anang mencontohkan betapa berpengaruhnya lingkungan dan keluarga terhadap pemahaman istilah yang sepele. Diceritakannya ada seorang guru TK yang memberi tugas kepada muridnya untuk menggambar ikan. Murid tersebut berupaya menggambar ikan yang dikenalnya di rumah. Uniknya ada salah satu murid yang menggambar bentuk kotak. Setelah ditanya anak tersebut menjawab bahwa itu ikan TAHU.
“Di Lumajang ini banyak suku Pandalungan (akulturasi suku Jawa dan Padura) yang menyebut semua lauk pauk itu dengan sebutan ikan, jukok tempe, jukok ajem, jukok tahu,” ujarnya sambil tertawa.
Lebih lanjut Anang mengingatkan kepada para pendidik tentang keinginan Menteri Pendidikan soal perubahan pola pendidikan. Pola pendidkan emansipatoris adalah memerdekakakan, membebaskan pola pikir peserta didik. Karena itu pendidikan secara filosofi harus melakukan penyadaran.
“Ibarat sebuah pergerakan, guru adalah pemimpin pergerakan dan murid bagian dari pergerakan itu. Yang lebih penting suasana dialogis harus tercipta. Dengan dialog terbuka bisa terbangun nalar kritis pada peserta didik,” ujarnya.
Anang mengajak semua komponen turut serta dalam pembangunan pendidikan di Lumajang. Bersama-sama mengawal pendidikan yang berkarakter agar tidak tergeser oleh kemajuan teknologi. Ini menurutnya perlu rekonstruksi, revitalisasi dan reformasi dalam dunia pendidikan.
“Problem serius adalah guru yang hanya cukup mengajar untuk menggugurkan kewajiban. Guru yang tidak peduli dengan pencerahan dan minat belajar anak. Akibatnya banyak sekolah yang tidak punya murid karena tidak diminati,” ungkapnya.
Ia menambahkan, pendidikan tidak hanya tugas Dinas Pendidikan. Semua harus ikut bertanggung jawab. Masa depan bangsa tergantung kepada anak cucu kita saat ini. Masa depan anak-anak tergantung dengan pendidikan yang diperolehnya saat ini. ”Tomorrow is today. Apa yang terjadi besok tergantung dengan apa yang kita lakukan saat ini,” pungkasnya.
Pendapat senada juga dikemukakan Bukasan, Wakil Ketua DPRD Lumajang dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan. Ia mengingatkan agar pembalajaran daring tidak justru membebani pelajar dan orang tua. “Jangan buat banyak pekerjaan rumah (PR) biar anak tidak klenger. Ini justru tidak baik untuk pendidikan emosional dan mental anak,” ujar Bukasan.
Kondisi darurat corona ini, lanjut Bukasan, harusnya dijadikan kesempatan bagi orang tua untuk menjalin komuniksi dengan anaknya. Dengan daring orang tua bisa mendampingi anaknya, dan jangan sampai jenuh dan penyakit pasrahnya kambuh.
Menurut Bukasan sudah menjadi kebiasaan orang tua pasrah kepada pihak sekolah, sehingga orang tua tidak tahu perkembangan mental emosional anaknya. “Anak disekolahkan mulai pagi hingga sore dan dilanjut dengan les. Ini harus ada pendampingan. Orang tua tidak boleh lepas pasrah begitu saja,” ujarnya.
Lebih lanjut Bukasan mengatakan bahwa kecerdasan emosional anak sangat penting dalam membangun masa depan anak itu sendiri. Dia mengungkapkan sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa mereka yang sukses di kemudian hari bukanlah yang memiliki nilai akademis yang bagus, tetapi kecerdasan emosionallah yang mendominasi.
"Contonya Pak Ketua DPRD ini. Sekolahnya pindah pindah tetapi interpersonalnya bagus, mampu membangun komuniksi, sehingga menjadi dewan dan langsung jadi Ketua DPRD,” selorohnya yang disambut senyum simpul Anang.
Bukasan menekankan agar guru dan orang tua agar tidak memaksakan anak bisa pinter pada bidang pembelajaran tanpa memperdulikan kecerdasan emosional. "Orang tua dan guru harus bisa membuka dan menyuport kecerdasan unik yang dimiliki anak itu sendiri", katanya. ( TEGUH EKAJA).
0 Komentar