RYO PERCETAKAN: DULU JUAL BENSIN ECERAN, KINI JADI PENGUSAHA TOP LUMAJANG


      Warga Lumajang dan sekitarya tentu tidak asing dengan sebuah perusahaan percetakan yang bernama Ryo Digital Printing. Masyarakat mengenalnya lebih gampamg dengan menyebut Ryo Percetakan. Sebuah percetakan dengan mesin canggih dan terbesar di Lumajang ini adalah milik seorang pengusaha muda kelahiran Lumajang, 3 Mei 1977, yaitu H. Ryo Mey Martino,SE.AK.
      Bagaimana Ryo merintis perusahaan percetakan di Lumajang ini sehingga menjadi peruhasan percetakan besar? Program BBS atau Bincang Bincang Santuy Semeru FM yang dipandu Ferry Sinaro, Kamis (16/7) malam mengupas habis sosok, kisah, dan suka duka perjalanan Ryo dan keluarganya mendirikan usaha percetakan tersebut.
      Dengan gaya obrolan santai, perbincangan ini selain disiarkan langsung di Radio Semeru FM juga live di facebook Radio Semeru FM Lumajang. Banyak warga yang menyimak dan berkomentar dalam program ini.

JUAL BENSIN ECERAN
      Ryo memulai kisahnya tahun 2005. Tahun itu Ryo menikah dengan seorang gadis cantik pujaannya yang benama Anisa, kelahiran Lumajang, 23 September 1984. Kemudian di akhir tahun 2005, ia mengawali usaha dengan membuka counter HP (Hand Phone) dan berjualan bensin eceran di Jalan MH. Thamrin, di sebelah selatan kantor PDAM Lumajang atau di sebelah barat klinik dr. Edison.
      Rio terkenang dan berkisah saat antri kulakan bensin di SPBU pada pukul sembilan malam. Sehabis tutup toko, Ryo harus mengantri di SPBU untuk membeli bensin karena waktu itu bensin langka. Akibatnya baru subuh hingga pagi hari ia bisa pulang membawa bensin.
      Saat itu tidak boleh kulakan bensin dengan jurigen, sehingga Ryo menyiasati dengan mengisi full mobil jeep hardtop miliknya, kebetulan mobilnya berkapasitas sekitar 95 liter. “Saya menargetkan paling tidak semalam itu bisa kulakan 900 liter bensin, sehingga harus bolak balik 10 kali ke SPBU," kenangnya.
      “Berapa lama jadi tukang sedot bensin. Itu namanya tukang sedot bensin lho, soalnya Anda menyedot bensin di tangki mobil kemudian dipindah ke botol eceran,” goda Fery Sinaro. “Mbak Anisa terlibat nggak waktu itu,?” sambungnya.
      Anisa tersenyum dan menjelaskan bahwa saat itu awal tahun 2006 ia sedang hamil, sehingga lebih banyak hanya mendampingi. Namun setelah melahirkan dan anaknya bisa ditinggal, Anisa mengaku turut dalam kegiatan sedot bensin tersebut.

      Ryo dan keluarganya sering kali mengalami kebangkrutan usaha sehingga sering berganti usaha. Sejak awal menikah ( tahun 2005) hingga 2012, mereka membuka usaha mulai counter HP, jual pakaian, jual alat tulis kantor (ATK), hingga membuka bengkel mobil di kawasan Jl. Toga. Namun itu semua tidak berhasil, termasuk usaha kontraktor yang digeluti Ryo.
      Dari semua usaha itu yang bisa menghidupi keluarganya hanyalah berjualan bensin eceran, karena sudah pasti mendapatkan uang sehingga bisa dipakai untuk biaya hidup sehari-hari. Dengan situasi seperti itu Fery Sinaro sempat menanyankan kepada Anisa bagaimana sikapnya terhadap suami, apakah menganjurkan agar mencari kerja yang jelas agar ada kepastian. Anisa menjawab bahwa semua itu mengalir begitu saja dan mereka lakoni bersama. “Saya bukan dari keluarga berada, sehingga situasi seperti itu sudah biasa bagi saya,” ujar Anisa.
      Ferry pun tergelitik menanyakan background Anisa yang ternyata dijawab dengan mengejutkan bahwa ternyata Anisa adalah seorang perawat. Fery sempat tidak percaya sehingga sang suami yaitu Ryo kemudian memberi tambahan penjelasan. “Dia saat itu lulusan terbaik Akper Universitas Muhammadiyah tahun 2005,” ujar Ryo membanggakan istrinya. Saat ditanya apakah sudah mengabdi di bidang keperawatan, Anisa yang punya nama lengkap Hj. Anisa Fitana A.Md. Kep., ini mengaku sudah mulai menjadi perawat di RS. Wijaya Kusuma Lumajang selama 4 hari.
      Empat hari? Mengapa sesingkat itu? Apakah dilarang oleh sang suami?, padahal saat itu Anisa mengaku sedang senang-senangnya menjadi perawat karena baru bekerja dan menyandang profesi sebagai perawat di RS. Wijaya Kusuma tersebut. Ternyata yang melarang Anisa melanjutkan profesinya sebagai perawat adalah papanya Ryo alias mertuanya Anisa yang bernama H. Soleh Hardjo.

      “Saat itu sering piket malam sehingga papa khawatir,” ujar wanita cantik berdarah Arab ini. Karena yang memerintah papanya Ryo, maka Anisa dan Ryo mengaku langsung mengiyakan ketika papanya meminta Anisa berhenti dari profesinya sebagai perawat.

AWAL MEMULAI USAHA PERCETAKAN
      Papanya Ryo adalah termasuk golongan orang berada, sehingga awal mulanya usai menikah Ryo dan Anisa diberi ruko untuk dikelola. Ryo adalah anak sulung dari 4 bersaudara.
Tahun 2010, Ryo merasa tertarik dengan stiker dan inilah yang menjadi titik awal perjalanan munculnya Ryo Percetakan atau PT. Ryo Digital Printing Lumajang. Ketertarikan Ryo pada stiker tidak hanya menjadi hobby, ia kemudian menjual stiker kecil yang berupa tulisan atau gambar.
      Ryo tidak hanya tertarik pada stiker, tapi ia juga ingin tahu bagaimana cara membuatnya. Keingintahuan Ryo ini yang mendorong langkah kakinya untuk mencari tahu ke beberapa kota.
Suatu saat Rio kenal dengan sesorang di wilayah Jember, dan Ryo menyampaikan keinginannya untuk belajar membuat stiker dan membuka usaha tersebut. “Dikasih langsung ilmunya?,” tanya      Ferry Sinaro. “Enggak,” jawab Rio. Rio menceritakan bahwa kenalannya itu kemudian meminta uang 40 juta dan bersedia mengajari sekaligus memberi mesin dan bahan membuat stiker tersebut.
      “Langsung iyakah?,” sentil Ferry. “Enggak,” jawab Rio lagi. “Gak ada uang waktu itu,” sahut Anisa. Tentu fakta ini cukup mengecewakan karena bayangan bisa memproduksi stiker sendiri sia-sia alias muspro begitu saja. Namun ini tidak menyurutkan hasrat Ryo untuk menyukai stiker. Akhirnya selama satu tahun, dari pintu ke pintu ia menawarkan cutting sticker dan menerima orderan pembuatan stiker. Orderan stiker tersebut setiap Sabtu dibawanya ke Jember untuk diproduksi.

      “Dari sinilah saya tahu bagaiamana cara membuat stiker,” ujar Rio yang mengaku setiap Sabtu melihat percetakan di Jember tersebut memproduksi stikernya. Anisa sang istri juga sering diajaknya bersama ke Jember untuk melihat proses pembuatan stiker.
      “Hanya dari computer begitu saja bisa buat stiker ya,” ujar Anisa yang kelak akan menjadi tenaga desain atau setting gambar dan tulisan yang akan dicetak dalam satu media.


MULAI PUNYA MESIN CETAK
      Setelah selama satu tahun menerima orderan cetak cutting sticker dan disubkan ke percetakan di Jember, akhirnya pada tahun 2011 Ryo mulai membeli mesin printer atau mesin cetak kecil dengan ukuran cetak maksimal 60 CM. “Celengan (tabungan) ditambah hasil mengumpulkan uang selama 1 tahun akhirnya bisa kami belikan mesin cetak kecil,” ujar Ryo.
       Sejak mulai punya mesin percetakan, pesananannya mulai ramai dan mulai disibukkan oleh kegiatan percetakan tersebut. Tentu ini membuat mereka merubah haluan usaha. “Bensin kan riskan, dan percetakan mulai ramai sehingga kami sepakat berhenti usaha bensin eceran,” ujar Anisa.
“Padahal kami kadung jatuh cinta pada pekerjaan jualan bensin itu,” seloroh Anisa yang kemudian disahut oleh Ryo dengan mengatakan kadang dia masih terngiang sehingga minta izin kepada Anisa istrinya untuk jualan bensin lagi yang tentunya itu tidak ditanggapi serius karena situasinya sudah berbeda.      Mesin cetak ini semakin membuat Ryo dan istirnya semangat sehingga mereka bekerjasama membangun usaha percetakan yang lebih profesional. Ryo bertugas untuk mencari orderan, sementara sang istri bertugas mendesain gambar dan tulisan yang akan dicetak.
“Sebentar, perawat bisa mendesain, saya kok semakin tidak percaya sih?,” timpal Ferry Sinaro sambil terbahak. Anisa yang merasa disindir langsung menerangkan bahwa dirinya harus les private dulu untuk belajar mendesain.
      “Ada anak dari Jember yang pintar desain cutting art sticker, kami datangkan supaya mengajari kami,” ujar Anisa yang mengaku harus membayar anak tersebut sebesar Rp.600.000,- untuk 4 kali pertemuan yang dilakukan selama 1 bulan.
      Ryo oleh sang istri yang dianggap paling jago dalam pemasaran ini tugasnya tidak hanya mencari konsumen dan orderan, tetapi juga harus melayani pemasangan cutting sticker ke tempat atau media yang diinginkan konsumen.
       “Saya pasang tulisan di mobil polisi, atau mobil lain dengan peralatan seadanya sampai tangan saya melepuh,” ujar Ryo. Saat itu ia belum mengenal alat yang namanya hot gun, bahkan belum tahu jika memasang tulisan stiker juga bisa menggunakan hairdryer (pengering rambut). Untuk meluruskan stiker cutting art-nya agar tidak menggelembung saat dipasang, Ryo waktu itu hanya menggunakan korek api gas.


PUNYA PEGAWAI DAN MESIN CETAK BARU UKURAN BESAR
      Selang beberapa bulan, yakni perjalanan 3 hingga 6 bulan, usaha percetaknnya mulai kebanjiran order dan mau tidak mau harus membeli mesin cetak yang lebih besar agar bisa memenuhi permintaan konsumen karena rata-rata untuk cutting art mobil membutuhkan yang lebih besar lagi.
      “Kami membeli mesin baru yang lebih besar dengan kemampuan ukuran cetak 120 cm,” ujar Ryo. “Saat itu pula kami punya satu pegawai baru,” timpal Anisa. Dengan adanya pegawai baru ini akhirnya pekerjaan desain bisa terbantu lebih profesional.
      “Saya bisa desain tapi inspirasi kurang,” ujar Anisa yang kemudian lebih mempercayakan kepada pegawai barunya, sebab yang bersangkutan lebih bisa karena lulusan grafika. Pegawai baru tersebut hingga kini masih bekerja di tempat usahanya dengan jabatan supervisor.
      Meski hanya dengan dua mesin cetak ukuran kecil, namun semangat Ryo untuk menguasai percetakan di Lumajang tidak surut. Padahal saat itu di Lumajang sudah ada 3 perusahaan percetakan yang memiliki mesin cetak cangggih dengan ukuran besar. Tapi Ryo siap berkompetisi dengan mereka.
       Suatu saat Ryo mendapat orderan memasang cutting art di 21 mobil strada baru milik 21 Polsek di   wilayah Lumajang. Uniknya Ryo justru tertarik kepada mobilnya, dan malah ingin memiliki mobil tersebut. Keinginan punya mobil strada tersebut tampaknya tidak mendapat sambutan dari istrinya. Anisa sang istri ‘nggerundel’ tiap hari karena Ryo berencana memakai uang tabungan untuk uang muka beli mobil strada.      Secara diam-diam Anisa sang istri ternyata mengambil uang tabungan yang rencananya dipakai untuk uang muka mobil tersebut. Uang itu kemudian dipakai untuk membeli mesin baru yang lebih besar, yakni ukuran 3,2 meter. Melihat fakta ini Ryo tidak bisa berbuat banyak karena dalam benaknya hal itu benar untuk meningkatkan usahanya.
    

 Ketika mesin itu datang, Ryo mengundang papanya untuk menunjukkan mesin tersebut dengan bangga. Mesin itu adalah mesin cetak banner berukuran besar, namun kecepatan cetaknya lamban.     “Spek rendah dan kecepatanya lamban seperti keong,” ujar Anisa.
Setelah menerima penjelasan dari Ryo bahwa itu adalah mesin cetak banner, diluar dugaan papanya Ryo justru menanyakan hal lain. “Jika ditimbangkan (dijual kiloan) laku berapa mesin ini,” tanya papanya.
       Pertanyaan ini cukup mengagetkan dan sekaligus mengingatkan Ryo dan istrinya bahwa BEP mesin ini akan lama karena prospek ke depannya kurang optimal, karena tidak setiap hari ada yang mencetakkan bannernya. Ternyata memang kemudian hari mesin tersebut akhirya dijual dan laku ke orang yang ada di Ambon.
       Mesin cetak yang ada di Ryo selalu mengikuti perkembanbangan bahkan mulai tahun 2011, Ryo telah mengganti mesinnya sebanyak 5 kali demi mengikuti perkembangan teknologi dan memberi pelayanan terbaik bagi pelanggannya. Mesin di Ryo kali ini adalah mesin canggih dari Jerman, Hepang dan lain lain, termasuk dalam waktu dekat ada mesin yang bisa untuk mengukir besi dalam kapasitas besar. “Kalau untuk ukir kayu dan besi yang ukuran kecil kami sudah bisa melayani,” ujar Anisa.



       Ryo ternyata juga menjual mesin percetakan. Uniknya pengalaman dia saat pertama ingin membuka percetakan harus bayar dulu tidak dianutnya. Bagi siapa saja yang ingin belajar percetakan, Ryo membuka diri karena baginya membagi ilmu adalah salah satu hal yang membuat dirinya sukses.
Ketika ditanya apa tidak merasa tersaingi jika ada yang belajar percetakan dan membuka usahanya di Lumajang, Ryo dan Anisa menjawab bahwa rejeki sudah ada yang mengatur. Bahkan mereka bisa sukses juga atas bimbingan orang yang juga telah rela membagi ilmunya.
       Ryo dan Anisa saat ini mengaku ingin menikmati hasil kerjanya sehingga akan lebih banyak mempercayakan usahanya kepada pegawainya. “Yang penting tetap kontrol,” ujar Anisa. Soal pelayanan adalah hal yang utama, sehingga Ryo dan Anisa selau update agar bisa melayani dengan kualitas baik dan cepat.




      Ryo sendiri mengaku sudah tidak melakukan kegiatan di luar usaha yang berhubungan di percetakan. Ia fokus dengan usahanya, sehingga saat ini usahanya telah berkembang. Di Lumajang saja ada beberapa titik usaha, di antaranya Ryo Digital Printing yang ada di Jl. MH Thamrin, Ryo Textile Jl. A. Yani 19, Ryo Percetakan A. Yani 30, Ryo Advertising dan Ryo Kertas di Jl. Soekrno Hatta Sukodono dan Ryo Digital Printing di Jl. Kalimantan Jember.
      Ryo kertas dan advertising melayani bahan dan alat percetakan seperti kertas, tinta, bahan banner dan arceliknya dan lain-lain. Ryo saat ini menguasai suplai untuk bahan percetakan di wilayah Lumajang, Jember, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, bahkan hingga Banyuwangi.


KELUARGA DI ATAS SEGALANYA
      Ryo sempat disapa pendengar yang bernama Lilik Azizah yang ternyata adalah teman sekolahnya dulu. Ini kemudian menggelitik presenter Ferry Sinaro untuk bertanya sekolah dimana dulu Ryo.
Ryo mengaku pernah sekolah di SD Lowo (SD Ditotrunan 1) dan pindah ke SD lain, kemudian SMP Sukodono 2. “SMA saya pindah-pindah, pokonya habis banyak sekolahan,” ujar Ryo yang disambut tawa. “Mungkin di situ yang yang membuat jiwa enterprenuernya lebih kuat,” celetuk Fery Sinaro sambil terkekeh.
      Tidak itu saja, ternyata saat kuliah pun masih sama. Ryo menempuh Pendidikan D3 di Unej yang ditempunya selama 5 tahun, dan lamnjut menempuh S1 di Unair juga selama 5 tahun. “Jadi perjalanan pendidikan S1, saya tempuh selama 10 tahun,” ungkapnya.
      Selain menyapa, tidak sedikit yang bertanya baik melalui telpon maupun komentar di facebook. Ada yang bertanya apakah Ryo Percetakan bisa membuat neon box dan lain-lain.
      Menjawab pertanyaan ini, Ryo menjelaskan bahwa untuk produk neon box bisa dilayani sejak tahun 2012 lalu, bahkan dengan cetak huruf timbul. Selain itu banyak produk yang bisa dihasilkan Ryo Digital Printing di antaranya banner, stiker, packaging kotak makanan, label baju atau produk tekstil lainnya seperti kerudung dan lain-lain.


      “Lengkapnya bisa dilihat di Instagram, chanel YouTube atau media lain dari Ryo Digital Printing,” ujar Ryo. Selain itu Ryo juga membuka layanan online sehingga apapun bisa dipesan tanpa harus datang langsung ke lokasi Ryo Digital Printing.





               Di penghujung acara, Ferry Sinaro menanyakan pendapat Ryo tentang istrinya yang mendampinginya hingga sukses. Atas pertanyaan ini, Ryo menegaskan bahwa keluarga di atas segalanya.
      “Tanpa keluarga, tanpa dukungan anak dan istri, maka pekerjaan apapun tiada artinya apa-apa,” tegasnya. Uniknya pertanyaan yang sama dilontarkan kepada Anisa jawabannya cukup simpel, “Alhamdulillah punya beliau,” ujarnya sambil memandang Ryo suaminya tercinta.
      “Teman-teman muda yang ada di Lumajang, tetaplah semangat, tetap survive pasti Tuhan kasih jalan bila kita ada kemauan dan keingian. Yang penting jangan pernah putus asa, jangan pernah menyerah. Hidup itu memandang ke depan, kita berencana tetapi Tuhanlah yang menentukan tetaplah berusaha,” tutur Ryo saat memberikan closing statement dalam acara BBS tersebut. Sementara Anissa menimpali dengan satu ungkapan, “Jangan bilang tidak bisa, tapi katakan harus bisa,” pungkas Anisa.


      Kini Ryo dan Anisa berbahagia bersama keempat buah hatinya, yang pertama bernama Razihan Rizanta Martino (13 tahun) belajar di Ponpes Tazkiya, kedua Rafael Rasya Martino (11 tahun) sekolah di AL Iklhas, ketiga Ramadani Aisa Ryo(2 tahun), dan Razan Najla Ryo (2 tahun). Inilah keluarga besar dan para buah hati yang kelak mewarisi usaha Ryo dan Anisa. (TEGUH EKAJA).

Posting Komentar

0 Komentar